Sabtu, 01 Desember 2018

Pengalaman Bahagia Ikut APN Bagi Bidan




Dulu belum berhijab, cyin

Definisi bahagia itu beraneka ragam.
Tergantung masing-masing individu. Bagi bidan labil, kembali bisa meyakinkan diri kalau terus kuat jadi bidan ialah saat terbahagia. Seperti pada kondisi saya di tahun 2014. Mendapat kertas ajaib bernama sertifikat, melanjutkan langkah di profesi mulia. Setidaknya ... ini pencerahan terindah dan tidak lagi mogok jadi petugas kesehatan.

Bagi bidan, punya sertifikat APN (Asuhan Persalinan Normal) merupakan sebuah keharusan. Yah, pengecualian bagi yang baru lulus terus langsung diangkat jadi CPNS dan akhirnya jadi malas mengurus sertifikat ini. Uuu, irinya saya. #eh

Saya pribadi, setelah bertahun-tahun menunda memilikinya karena berat di ongkos (harap maklum, gaji masih belum seberapa, euy! Biaya pelatihan dan ujiannya lumayan) akhirnyaaa ... sebelum bulan puasa tahun 2014 sudah bisa mendekapnya. Alhamdulillah, yay!
Kebayang dong bagaimana girangnya hati ini. Sekian lama menabung, potong anggaran buat jajan sembarangan, taraaa ... Selembar kertas tebal ini pun saya peroleh dengan perjuangan 9 hari di kota orang. Dari Pasuruan ke Malang (yang hampir tidak pernah saya kunjungi), saya bak Kera Sakti dan kawan-kawannya dalam mencari kitab suci. Yah, walau perjuangannya gak sampai bertemu banyak siluman, sih.


Mengapa ini jadi momen terbahagia saya?
Sebab dalam pengalaman ini, saya bagai terlahir jadi manusia yang lebih baik lagi. Mujarabnya berendam di air 7 sumur kalah jauh dibanding pelatihan yang saya dapatkan di sini. Perubahan total terjadi baik dari segi mental, spiritual, sikap dan pengetahuan. Jreng-jreng!


Bahagia karena berani mengajukan diri jadi ketua kelas!
Kata orang, pemilik zodiak Capricorn itu berjiwa pemimpin. Ah, masa? Kok saya malah sering mundur kalau harus jadi yang terdepan? Mitos, tuh!

Tapi saking bahagianya saya bisa ikutan ujian APN, saya sampai tak sadar mengacungkan diri waktu pengajar menanyakan siapa yang mau jadi ketua kelas. Baru ‘ngeh’ ketika teman-teman tepuk tangan dan pengajar minta saya maju ke depan kelas.

“Loh, kok saya? Aslinya tadi mau ngapain ya kok sampai telunjuk saya terangkat?”
Weleh-weleh ... Cuma bisa ngomong dalam hati dan menikmati peran baru sebagai ketua kelas. Tidak apa, belajar bertanggung jawab! Ah, senangnya dapat kesempatan langka. Peran ketua kelas ialah sebagi penghubung antara pengajar dan yang diajar. Jadinya, saya jadi tahu info ter-update­. Hihi.
 
Tebaaak, yang manakah saya?

Kerudung orange :p


Bahagia karena dapat me-refresh­ materi!
Kala itu, saya sudah 4 tahun lulus kuliah D III Kebidanan. Tapiii, ilmu saya masih segini-gini saja. Ini semua akibat kurang serius dalam mengecap dunia kebidanan. Berkat ujian APN, saya jadi bisa kembali menjadi insan yang otaknya penuh dengan ilmu. Ada ilmu lama yang kembali terserap, ada ilmu baru yang langsung bikin saya jatuh cinta lagi dengan profesi ini. Contohnya saja saya jadi bisa menghapal jingle bidan yang dulu sempat eneg untuk saya nyanyikan. Ini dia jingle-nya ...


Yang menyanyikan adalah bidan-bidan senior. Saya hanya memberi efek tulisan biar kalian juga bisa mengikutinya. Mohon maaf ya, jangan lama-lama didengar. Nanti bingung itu maksudnya apa. Ikutan kuliah dulu deh biar ngerti, hihi.


Bahagia karena bisa belajar lebih sabar lagi!
Karena targetnya ialah harus dapat 3 persalinan normal yang ditolong sendiri (ingat, bukan ramai-ramai seperti saat dinas di rumah sakit) dan dinilai oleh bidan-bidan senior yang menjadi pengajar, ini menjadi steressor tersendiri. 

Bayangkan, ketiga pasien saya datang saat persalinan masih dalam fase awal. Artinya saya harus lebih sabar menunggu untuk proses kelahiran bayi (target utama ialah untuk menolong persalinan). Paling tidak, minimal butuh waktu 6 jam untuk saya dalam merawat ibu-ibu yang kesakitan selama masa pra-persalinan. Uuu ... walau capai, tapi harus tampil prima dan senyum selalu agar sang ibu merasa tenang.
Momen ter- dan terbahagia adalah ketika bisa menolong para bayi tanpa melukai sang ibu. Dalam artian, saya tidak meninggalkan luka pada jalan lahir ibu sehingga tidak perlu melakukan tindak penjahitan yang menyakitkan. Proses kelahiran bayi berlangsung dengan lancar, ibu dan keluarga senang. Hati saya bahkan jauh lebih senang, karena selain target yang berhasil saya dapatkan, saya juga berhasil jadi bidan sejati. Bidan sejati ialah ia yang mau menolong dengan hati, tidak lagi memikirkan materi.

Semoga pengalaman terbahagia ini terus melekat dalam diri, walau kini saya belum bisa menjadi bidan sejati.



.

1 komentar: