Jumat, 14 Desember 2018

Kenangan Masa Kecil (Mantan) Bidan yang Suram Mengajarkan Banyak Hal




Mungkin banyak diantara Temans semua yang ingin mengulang masa kecil.
Namun tidak bagi saya. Saya tidak ingin lagi terbelenggu oleh kenangan yang pahit. Dan inilah yang membuat saya resign dari instansi ketika saya memutuskan menikah dan berencana memiliki anak.

Bagi saya, anak adalah harapan. Pastinya berharap dia tumbuh menjadi sosok yang pribadinya lebih baik dari saya, pun kehidupannya kelak yang jauh lebih mapan dan bahagia. Saya ingin terus mendampinginya hingga dia dewasa dan siap membina rumah tangga sendiri, dengan memiliki kenangan hidup yang manis yang membuatnya bijak menjadi imam keluarga. Yang jelas, saya ingin jadi ibu yang baik dan selalu baik di mata buah hati saya.

Bukan, bukan berarti Mama jahat. Bukan berarti Mama bukan ibu yang baik. hanya saja mungkin beliau saat itu masih menuruti ego, pun masih belum bisa mengontrol emosi. Hingga detik ini saya masih bertanya, “Bila ibu bekerja untuk anak, mengapa harus marah-marah sepulangnya? Mengapa bila lelah, anak yang jadi sasaran amukan? Mengapa bila ada yang membuatnya kesal, anak yang jadi korban?” Inilah yang kemudian menjadi alasan mengapa saya lebih memilih tidak bekerja di luar rumah.

Saya tidak ingin membuat buah hati saya sebagai pelampiasan amarah. Saya tidak ingin membuat mentalnya tertekan dan merasa seperti anak yang tidak diharapkan.  Saya tidak ingin membuatnya iri dengan teman-temannya yang lain, yang memiliki ibu penyabar dan pintar masak. Saya tidak ingin BabyZril kelak berharap dilahirkan dari ibu yang lain. Saya tidak ingin seperti itu.

Kenangan masa kecil saya begitu suram. Saya hanya teringat hal-hal buruk, meskipun sebenarnya perbandingan hal baik lebih banyak. Namun seperti setetes tinta yang mengotori air susu, ribuan kenangan indah tertutupi oleh satu-dua kenangan buruk. Secara tidak langsung, kenangan buruk itu terkadang membuat saya minder. “Untuk apa saya berada di garis depan bilamana sejak awal saya sudah terinjak-injak?”, pikiran inilah yang membuat saya sulit maju.

Hidup saya keras sedari kecil. Masih teringat bagaimana saat saya asyik main sepulang sekolah, lalu Mama yang baru pulang kerja menjemput. Saya yang tidak mau pulang, dengan berat hati melangkahkan kaki ke rumah. Entah bagaimana ceritanya, di tengah perjalanan Mama membanting tubuh saya ke aspal. Sakit. Yang saya ingat saya jadi sakit sekali, pulang dengan menangis, terluka hati dan fisik.

Itu hanya sekali. Mungkin memang saya yang salah. Mungkin saya yang nakal. Meski demikian, di ingatan saya tetaplah Mama seorang yang jahat. Tega membuat tubuh putri kecilnya luka. Dan tidak hanya itu, di lain hari Mama juga pernah memukuli saya dengan sabuk atau rotan pembersih tempat tidur. Jangan tanya rasanya: pedih. Dan di saat dewasa, alasan mengapa saya dipukuli tetap saja samar. Yang terbayang hanya ayunan benda keras ke tubuh yang saat itu masih amat mulus.

Menyedihkan. Tetapi … kenangan masa kecil yang suram mengajarkan banyak hal. Sebagai ibu, saya ingin melatih cara rileksasi di saat marah. Tidak ingin mengeluarkan unek-unek di saat marah. Dan kembali menghadapi anak setelah kepala dingin, memeluknya sambil menanyakan apa yang telah dilakukannya dan memintanya agar tidak membuat saya sedih. Itu…adalah hal yang dulu saya inginkan dari Mama. Namun sungguh, saya akan berusaha jadi ibu yang baik dengan berjuta kenangan indah yang menempel di ingatan BabyZril.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar