Mungkin banyak
diantara Temans semua yang ingin mengulang masa kecil.
Namun tidak bagi saya. Saya
tidak ingin lagi terbelenggu oleh kenangan yang pahit. Dan inilah yang membuat
saya resign dari instansi ketika saya
memutuskan menikah dan berencana memiliki anak.
Bagi saya, anak adalah
harapan. Pastinya berharap dia tumbuh menjadi sosok yang pribadinya lebih baik dari
saya, pun kehidupannya kelak yang jauh lebih mapan dan bahagia. Saya ingin
terus mendampinginya hingga dia dewasa dan siap membina rumah tangga sendiri,
dengan memiliki kenangan hidup yang manis yang membuatnya bijak menjadi imam keluarga.
Yang jelas, saya ingin jadi ibu yang baik dan selalu baik di mata buah hati
saya.
Bukan, bukan berarti
Mama jahat. Bukan berarti Mama bukan ibu yang baik. hanya saja mungkin beliau
saat itu masih menuruti ego, pun masih belum bisa mengontrol emosi. Hingga detik
ini saya masih bertanya, “Bila ibu bekerja untuk anak, mengapa harus marah-marah
sepulangnya? Mengapa bila lelah, anak yang jadi sasaran amukan? Mengapa bila
ada yang membuatnya kesal, anak yang jadi korban?” Inilah yang kemudian menjadi
alasan mengapa saya lebih memilih tidak bekerja di luar rumah.
Saya tidak ingin
membuat buah hati saya sebagai pelampiasan amarah. Saya tidak ingin membuat mentalnya
tertekan dan merasa seperti anak yang tidak diharapkan. Saya tidak ingin membuatnya iri dengan teman-temannya
yang lain, yang memiliki ibu penyabar dan pintar masak. Saya tidak ingin
BabyZril kelak berharap dilahirkan dari ibu yang lain. Saya tidak ingin seperti
itu.
Kenangan masa kecil
saya begitu suram. Saya hanya teringat hal-hal buruk, meskipun sebenarnya perbandingan
hal baik lebih banyak. Namun seperti setetes tinta yang mengotori air susu, ribuan
kenangan indah tertutupi oleh satu-dua kenangan buruk. Secara tidak langsung,
kenangan buruk itu terkadang membuat saya minder. “Untuk apa saya berada di
garis depan bilamana sejak awal saya sudah terinjak-injak?”, pikiran inilah yang
membuat saya sulit maju.
Hidup saya keras
sedari kecil. Masih teringat bagaimana saat saya asyik main sepulang sekolah,
lalu Mama yang baru pulang kerja menjemput. Saya yang tidak mau pulang, dengan
berat hati melangkahkan kaki ke rumah. Entah bagaimana ceritanya, di tengah
perjalanan Mama membanting tubuh saya ke aspal. Sakit. Yang saya ingat saya jadi
sakit sekali, pulang dengan menangis, terluka hati dan fisik.
Itu hanya sekali. Mungkin
memang saya yang salah. Mungkin saya yang nakal. Meski demikian, di ingatan
saya tetaplah Mama seorang yang jahat. Tega membuat tubuh putri kecilnya luka. Dan
tidak hanya itu, di lain hari Mama juga pernah memukuli saya dengan sabuk atau
rotan pembersih tempat tidur. Jangan tanya rasanya: pedih. Dan di saat dewasa,
alasan mengapa saya dipukuli tetap saja samar. Yang terbayang hanya ayunan
benda keras ke tubuh yang saat itu masih amat mulus.
Menyedihkan. Tetapi …
kenangan masa kecil yang suram mengajarkan banyak hal. Sebagai ibu, saya ingin
melatih cara rileksasi di saat marah. Tidak ingin mengeluarkan unek-unek di
saat marah. Dan kembali menghadapi anak setelah kepala dingin, memeluknya
sambil menanyakan apa yang telah dilakukannya dan memintanya agar tidak membuat
saya sedih. Itu…adalah hal yang dulu saya inginkan dari Mama. Namun sungguh,
saya akan berusaha jadi ibu yang baik dengan berjuta kenangan indah yang
menempel di ingatan BabyZril.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar