Minggu, 19 Desember 2021

Mengulas Sisi Lain Sejarah Epidemi HIV dan AIDS di Indonesia


Desember identik sebagai bulan akhir tahun sang penutup cerita. Pun bulan refleksi diri tentang harapan dan hal-hal yang telah dilakukan, mana yang perlu diberbaiki dan mana yang dilanjutkan untuk ke depannya. Tak dinyana, Desember juga bulan untuk kembali mengulas sisi lain sejarah epidemi HIV dan AIDS di Indonesia, yang sejatinya kurang jadi bahan pembicaraan sebab tertutup oleh pandemi yang menerjang selama 2 tahun ini. Padahal kurang terdengarnya berita soal HIV dan AIDS bukan berarti epidemi ini telah menghilang dari muka bumi.

Pada Kamis, 16 Desember 2021 lalu, saya menyimak obrolan di YouTube Berita KBR. Topiknya menarik sekali, tentang Sisi Lain Sejarah Epidemi HIV dan AIDS di Indonesia. Talkshow berdurasi 1 jam ini selain via YouTube Kabar KBR, juga bisa disimak di 100 radio jaringan KBR seluruh Indonesia, pun via website KBR.id dipandu oleh Rizal Wijaya. Diisi oleh narasumber Prof. Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD-KAI sebagai anggota badan pembina YKIS dan Asti Septiana yang merupakan ODHIV, rasanya sayang bila melewatkan talk show singkat ini.

1 Desember merupakan Hari AIDS sedunia, dan tetap perlu digaungkan agar masyarakat ingat akan adanya penyakit ini dan segala permasalahannya. Terlebih di masa sekarang dimana pandemi Covid-19 jadi lebih menghebohkan dan terkesan tidak ada hal terpenting selain penanganan penyakit yang disebabkan virus ini, epidemi HIV dan AIDS harus kembali dikulik sejarahnya. Dari data yang disebutkan Prof. Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD-KAI, mereka yang tau statusnya ada sekitar 75%, yang dapat obat ARV juga telah meningkat, diharapkan angkanga mencapai 95%. Keberhasilan penanggulangan HIV dan AIDS di dunia adalah berkat peran serta segala elemen masyarakat.

HIV itu ada, dan sudah ada di Indonesia sejak lama. Mbak Asti mengingatkan kembali bahwa, "Hendaknya kita memahami apa itu HIV, AIDS serta perbedaan keduanya. Tidak percaya juga pada mitos, serta mengerti bahwa penyakit ini bisa dicegah dan diobati. Adanya HIV- AIDS baiknya tidak dihubungkan dengan moral, karena penyebabnya bukan stigma moral yang buruk."

Kalau Prof. Dr. dr. Samsuridjal Djauzi, SpPD-KAI menekankan bahwa peran serta masyarakat benar-benar dibutuhkan dalam penanggulangan masalah HIV - AIDS di Indonesia. "Jadi, sebelum pemerintah punya program, di masyarakat sudah punya. Apalagi sudah ada obat ARV atau anti retroviral. Obat ini ditemukan 1997, dulu sulit mendapatkannya karena harganya mahal. Beruntung di tahun 2002, obat ARV sudah bisa dikonsumsi di negara kita." cerita beliau.

Sebelum ada obat ARV, mereka yang terkena HIV dan berada di stadium AIDS yang sudah berat, harapan hidupnya 6 bulan sampai 1 tahun. Karenanya di banyak negara yang ARV-nya tidak ada adalah dibuatlah rumah penampungan. Tujuannya karena keluarga penderita tidak mengerti bagaimana cara perawatan ataupun hal-hal lainnya yang berhubungan dengan HIV - AIDS, pun karena kondisi penderita yang parah dan bisa meninggal sewaktu-waktu. Termasuk YLKI yang membuat shelter di masa sekitar tahun 1995 untuk para penderita HIV - AIDS.

Kemudian setelah adanya obat ARV maka bisa menekan pertumbuhan virus, tidak bisa berkembang biak, kekebalan tubuh naik kembali dan kondisi penderita bisa sehat. Selain bermanfaat bagi ODHA, terapi obat ARV ternyata juga bisa mengendalikan infeksi dan penularan HIV - AIDS. Selain pengobatan ARV terbukti menurunkan angka kematian pada ODHA akibat HIV, rupanya ODHA yang mendapatkan obat ARV juga terbukti tidak menularkan penyakitnya kepada orang lain, seperti ibu hamil yang kemudian melahirkan bayinya, misalnya.

Untuk efektivitas pengobatan ARV, tercatat penggunaan ARV telah berhasil menurunkan angka kematian terkait HIV - AIDS dari 1,5 juta pada tahun 2010 menjadi 1,1 juta di tahun
2015. Syukurlah kini obat ARV disediakan secara gratis melalui program pemerintah Indonesia sejak tahun 2014 bahkan kini tersedia di lebih dari 400 layanan kesehatan seluruh Indonesia.

Untuk HIV - AIDS yang dihubungkan dengan moral, Mbak Asti mengungkapkan keresahannya. Bukan berarti pada ODHA adalah yang bermoral buruk seperti mereka yang tidak setia pada pasangannya, sebab nyatanya Mbak Asti kena HIV karena tertular dari suaminya yang pemakai narkoba suntik jenis putau. Ini artinya bukan karena suaminya tidak setia dengan berganti-ganti pasangan, seperti stigma penyebab HIV yang melekat di masyarakat. Saat didiagnosa penyakit ini di 2011, Mbak Asti dan suami yang belum mengerti soal HIV - AIDS hanya mengira penyakit ini hanya ada di cerita-cerita film, tapi ternyata juga bisa menyerang keduanya.


Stigma ada karena ada ketidakpahaman. Kunci melawan stigma ialah dengan penyuluhan atau pemberian informasi dengan benar. Saya kira stigma soal HIV - AIDS hanya ada di Indonesia, ternyata kata professor sudah ada di seluruh dunia. Dulu bahkan saat Putri Diana bersalaman dengan orang yang positif HIV, orang-orang jadi mengerti bahwa hal ini bukanlah penyebab tertularnya penyakit Human Immunodeficiency Virus ini. Untuk itulah informasi soal penyebab, pengobatan serta cara pencegahan HIV - AIDS wajib digaungkan, agar masyarakat mengerti dan paham sehingga stigma berangsur-angsur menghilang.